Letter I'll never send
Seperti ratusan surat yang tak pernah kukirimkan.
“Lari..
Pegasus..” Aku berbisik di telinga Pegasus.Ia langsung membawaku semakin dalam ke hutan.
Menginjak keras tanah bekas hujan tadi malam. Sepatu besinya berbunyi setiap kali menyentuh batu kecil di pinggir jalan. Beberapa
kali ranting muda menyibakan daunnya kewajahku. Tetes embun berpindah ke
pipiku.
Aku mengarahkan tali
kekangnya ke kiri. Pegasus berbelok ke kiri dan mulai berlari lagi. Ia
melompati kayu tua yang sudah tidur damai di tengah jalan setapak yang aku
lewati. Ujung jilbabku terangkat angin. Pegasus semakin berpacu seperti sedang
dikejar. Aku Melonggarkan sedikit tali kekangnya. Danau Tiber sudah terlihat di
depan mata. Percik alirannya sudah terdengar. Tidak ada orang yang pergi ke danau sepagi ini. Aku melompat
turun dari pundak Pegasus. Mengelus lehernya beberapa kali dan mengikat tali
kekangnya ke salah satu pohon kecil di pinggir daun.
“Jangan makan bunga
itu, pegasus.” Aku mengalihkan kepala Pegasus agar ia tidak memakan bunga daisy
itu. “Bunga itu terlalu cantik jika hanya berakhir di perutmu.” Aku menempuk
pelan perutnya yang keras.
Masih jam 6 pagi. Hari
ini Selena akan bertanding show jumping kuda. Selena adalah nama kakak perempuanku,
lebih tepatnya saingan sepanjang hidupku. Aku terlahir 2 tahun setelah ia
lahir. Lahir lebih dulu, di sayang lebih dulu, dan semakin lengkap dengan
segala kelebihannya dibandingkan denganku. Dia lebih langsing, tinggi, pintar,
cerdas, rajin. Aku heran kenapa dia bisa melakukan banyak hal baik pada satu
waktu. Aku berhenti mengikuti pertandingan berkuda setelah 5 kali
berturut-turut menduduki posisi ke dua setelah Selena. Aku putuskan untuk beralih
ke hal lain. Siapa yang peduli dengan piala juara ke dua jika dirumah itu ada
piala juara pertama? Walaupun tidak pernah bertanding, aku selalu punya waktu
dan keinginan untuk menunggangi Pegasus. Hanya untuk diriku dan Pegasus, bukan
karena sebuah piala. Kulepaskan sepatu booth dan mulai memasukan kakiku satu
persatu ke sungai yang dingin. Tiba-tiba aku mendengar suara sepatu kuda yang
mendekat menuju arahku. Aku tahu siapa yang datang, Selena dan kuda beruntungnya.
“Hey, Gina, apa yang
kamu pikirkan? Menunggangi kuda tanpa helm? Mama menunggumu di rumah”.Suara
Selena merusak suasana khidmatku pagi ini. Aku tak menoleh ke arahnya. Aku
masih menikmati air sungai dingin yang merendam kakiku.
“Aku membawakanmu
helm, ini..”
Aku menoleh kearahnya.
Ia melemparkan helm itu kearahku dari atas kudanya. Aku membalasnya dengan
sebuah senyuman semakna ‘terima kasih’. Dan dia membalasnya dengan tatapan ‘dasar
anak ceroboh’. Ia berlalu dan memacu kudanya ke rumah.
Kunaikkan kaki ku dari
air sungai. Menghentak-hentakannya ke batu agar air di kakiku jatuh. Gina sudah
berlalu dan berbelok menuju rumah ketika kupasangkan sepatu boots hitam. Ikut berlalu
menuju rumah dan siap melahap sarapan.
ini apa?
saya juga tak paham,
mungkin ini janin cerita yang keguguran.
Komentar
Posting Komentar