Sepatu Dahlan Vs Sekolah Saya

baru selesai membaca buku "Sepatu Dahlan" sesekali mengunyah beberapa potong martabak bangka yang tidak pernah saya temui seenak ini di Jogja. Martabak itu dibeli mama dan ayah setelah pulang takziah tadi malam. Saking banyaknya, mungkin baru habis nanti malam. Ya, Ayah memang tidak bisa "dimintai" oleh anaknya, tadi malam, walaupun shandi memintanya sambil tetap asik main PS dan tempat takziah jauh dari gerobak jualan martabak bangka, tetap saja saya terbangun panggilan mama lantaran di suruh makan martabak yang masih hangat di tengah malam buta. Martabak keju kesukaan saya dan adik adik. Yang ketika les SMA kelas 3 selalu dibeli ayah setiap malam sambil menjemput saya untuk pulang kerumah.

Sebenarnya saya sedang tertegun dan terpelintir akibat dosis baca kisah "Sepatu Dahlan", bukan, bukan hanya itu saja, mungkin juga karena acara Halal bi Halal keluarga besarku kemaren, atau mungkin karena angan-angan saya mencoba pertukaran pelajar ke australia, atau mungkin terngiang-ngiang keponakan yang sudah banyak sekolah ke filiphina atau singapur, atau mungkin, perasaan ingin sama seperti teman teman perjuangan di sma dan kuliah. Dari mulai ke Amerika, Swiss, Korea Selatan, termasuk negara-negara Asean. Rasanya saat ini, keinginan keluar negeri sama beratnya dengan keinginan dahlan atas sepasang sepatu, dan sebuah sepeda.

 Kemarin, tiba-tiba melihat pengumuman untuk kesempatan belajar diAustralia, tapi, sayangnya sudah terlanjur janji dengan ayah dan mama untuk lulus Februari ini, dan itu yang selalu ayah pertanyakan ketika ngobrol setelah makan bersama. Sayangnya saya tidak bisa mengandalkan "kalau" dan "apabila". Ya, "apabila ielts saya diatas 6", atau "kalau saja dapat bantuan dana untuk transport dan tambahan biaya hidup disana". Sedangkan hal yang masih bisa saya usahakan adalah memastikan saya bisa wisuda februari ini. Banyak yang bilang skripsi itu berat, tapi, saya bukan mereka, skripi memang tidak mudah, hnya saja, tidak juga seberat yang mereka katakan, saya percaya.

Kadang kadang keinginan pertukaran pelajar satu musim atau satu semester di negeri bukan asean benar benar menggeilitik dan gatal rasanya di kepala. Untuk beberapa saudara saya yang ayahnya juragan bisnis, jelas tanpa tedeng aling-aling, tanpa nilai yang tinggi-tinggi, tanpa perlu kemampuan inggris yang memadai, mereka bisa saja sekolah keluar negeri semau mereka, tidak perlu menunggu kuliah atau s1, rasanya iri melihat orang tua saudara saya yang menangis ridu sambil skype-an bersama anak anaknya di luar negeri sana. Kapan saya juga bisa merasakan rindu seperti mereka.

kalau untuk s2 diluar negeri, banyak kesempatan diberikan kepada dosen, tapi sayang, dosen bukan tujuan hidup saya. Tugas super mulia itu tidak terlalu menarik bagi saya. Saya kepingin kerja bebas, tanpa jam kerja pasti dan ingin penghasilan tak pasti. Kadang 15 juta, kadang 20 juta, amin amin.

kalau bukan dosen, banyak informasi yang menyebutkan bahwa, minimal punya uang tabungan Rp.186.000.000, kalau Rp, diganti dollar zimbwawe, baru saya mampu. sayangnya itu rupiah, kalau didolarkan sekitar $18.000 amerika, bukan dollar zimbwawe. 

Kadang-kadang, saking mimpi bisa belajar diluar negeri, saya jadi lupa cita-cita yang harus saya lakukan, lupa tujuan yang sudah saya tancapkan. Saya mau belajar bisnis dari 0. saya mau seperti beberapa saudara saya yang berjaya lantaran bisnis. Saya juga mau suatu saat bisa menggelar ulang tahun pernikahan orang tua saya, dengan anak-anak yatim seperti cita-cita ayah. Membawa orang tua naik haji bersama. Kata ayah, "kalau nanti sudah kaya, tak perlu tiap bulan umroh, cukup lihat saudara-saudaramu yang lain, bantu beri mereka modal, dan harus seimbang, antara keluargamu dan keluarga suamimu nanti."

Kadang saya sedih melihat mama yang sangat senang mendengar kabar saudara yang sudah mendaftar naik haji. Sayangnya, ayah bilang saya masih kuliah," luluskan satu anak dulu, baru nanti mikir naik haji". Saya tahu ayah takut tidak mampu menyekolahkan adik-adikku. katanya, "biar nanti naik haji tenang."

Setelah aku baca kisah dahlan, belumlah seberapa angan-anganku untuk keluar negeri. Membeli sepatu saja Pak dahlan tak mampu, bau sepatu saja Pak dahlan tak tahu. Apalagi belajar keluar negeri untuk s2. Masih banyak waktu, masih banyak jalan.

beberapa bulan yang lalu saya berfikir untuk tidak langsung lanjut s2. Bukan karena tidak ada biaya, tapi karena saya ingin berhenti meminta-minta kepada mama dan ayah. Cukup 20 tahun beliau memberiku umpan tiap bulan. Rasa-rasanya semangat mengerjakan skripsi sama hebatnya dengan semangat cari rejeki. Saya ingin segera seperti sepupu saya yang kabarnya 3 tahun yang lalu menjadi penyumbang pajak nomor 4 di Jogja, yang katanya lebih dari 1milyar gaji masuk ke rekeningnya tiap bulan. Bukan, bukan MLM, ini murni bisnis kawan. Itu 3 tahun yang lalu, sekarang entah sudah berapa digit.

Saya mau sukses seperti mereka, Ayah.
Saya mau bisa membahagiakan kalian seperti mereka, Mama.
Saya ingin menyekolahkan adik-adik saya, Dik.

Komentar

Postingan Populer