Lelaki kecilku. Mufti Ari Shandi (1)

5 Mei 1997.
tidak terlalu banyak yang aku ingat. Kecuali ketika malam malam sebelumnya. Aku melihat mama terlihat kesakitan sambil memegang perutnya yang semakin membesar. Dan pada malam itu, aku duduk disampingnya. Ikut menaruh beberapa kue kering didalam toples. Yang aku tahu. Sebentar lagi aku akan memiliki adek. Rasanya seperti akan mendapatkan teman baru. Hadiah baru. Berkali kali mama mengaduh kesakitan. Yang bisa aku lakukan diusia 5 tahunku hanya menatapnya dengan bingung, iba dan mengunyah kue dalam toples.
Malam itu aku berniat untuk tidur disamping mama. Ketika bangun, aku sudah sendiri dikamar. Aku mendatangi nenek.Beliau mengabarkan kalo sekarang mama sudah dirumah sakit. Aku resmi menjadi seorang kakak.

Namanya Mufti Ari Shandi. Sepertinya laki laki. Yah, dia putih, seperti tahu. Rambutnya halus, lurus dan berwarna pirang keemasan( mungkin dia mendapatkan gen dominan dari nenek moyangnya nenek moyangku yang keturunan barat). Ada sebuah tanda lahir kecil berwarna kecoklatan dipipi kirinya. Matanya masih tertutup, bibirnya merah, kecil, untung hidungnya standar,tidak seperti mama, kalau iya, aku mengutukinya-shandi- yang hampir mirip artis hollywood, begitu menggemaskan. Mungkin deskripsiku salah. Yang jelas dia bukan anak alien berwarna warni. Sempat terfikir mama salah bawa pulang adek. Dia begitu berbeda denganku. Yang jelas dari bayi aku sudah yakin suaranya tidak sebagus suaraku(nanti akan kubuktikan kebenarannya). Beratnya 4 kilogram, panjangnya aku lupa, mama menyuruhku mencium adek baruku untuk pertama kali. Setelah hari itu hobiku adalah menciumi pipi, kening,jari tangannya, sampai telapak kakinya. Benar benar bikin lapar. Dan betapa tersiksanya aku saat hampir seminggu tidak boleh menciumnya lantaran aku flu karena main banjir-terlalu lama,kalau hanya sebentar mungkin tidak sampai flu-.

Kedewasaanku serasa langsung muncul ketika aku telah memilikinya, Aku harus membagi cinta mama dan ayah untuknya juga. Aku tahu apabila disaat yang bersamaan aku dan shandi menangis. Shandilah yang akan ditenangi. Saat kami sama sama kelaparan. Shandi yang akan disuapi, sedangkan aku harus menunggu sampai shandi benar benar kenyang atau aku harus mengambil sendiri makananku. Tapi itu sama sekali tak masalah bagiku. dari dulu, aku terlalu mencintainya. Aku bisa menghabiskan waktu tidurku hanya untuk memperhatikannya terlelap. Aku bisa langsung teriak kesenangan kalau dia mencubiti pipiku dan menarik narik rambutku. Aku senang ketika dia menatapku dengan mata polosnya. Yang aku tidak suka hanya ketika aku sudah berat berat menggendonginya, tiba tiba aku dijadikan toilet. Kalo telah seperti ini, kalo tidak sadar dia anak manusia-bukan boneka- sudah aku lempar. Membayangkan bermain dengannya. Yang jelas, aku bisa bebas memilih power ranger pink atau kuning karena dia tidak akan memilih 2 diantaranya. Aku juga tidak perlu berbagi boneka, dress pesta, dan perlengkapan memasakku dengannya. Dan ketika aku membayangkan, kalau nanti kami sama sama dewasa, dia akan menjagaku dengan ketangguhannya sebagai lelaki(sampai sekarang yang ini belum kesampaian).

Shandi, usia 1-3 tahunnya adalah tahun paling sibuk untukku sebagai kakak. Ketika giginya mulai tumbuh,mulai berjalan walaupun keberatan badan, dan suara jeleknya cukup membuatku khawatir. Aku langsung memupuskan harapan untuk menjadikannya penyanyi. Dia jauh dari profesi itu.Ketika aku sadar, giginya juga berbeda denganku, 2 gigi depannya gigi kelinci, dan gigi bawanya agak jarang, waktu belajar jalannya cukup singkat-mama biasanya menyindirku yang ketika kecil lebih senang ngesot daripada jalan-, ucapannya yang sangat familiar da itu dipakai kalau dia marah, 'dak na ik bum lak'. Bingung artinya apa? Itu artinya : "Nggak naik mobil ntar", jadi barang siapa yang membuatnya marah, jengkel, maka dia tidak diperbolehkan naik mobil. Dan untuk gangguan suaranya yang sangat jauh dari kata merdu. Tapi suara jelek itu tetap indah didengar ketika dia memanggilku "Dang...". Dang itu singkatan untuk wodang. Di wilayahku itu sebutan untuk anak pertama. Lama lama aku cukup terbiasa dipanggil dang oleh suaranya yang jelek. Aku sering memanfaatkan shandi untuk memperngaruhi keputusan mama dan ayah. Anehnya suara jeleknya memang mengundang rasa iba, jadi setiap permintaan yang keluar dari suara jeleknya langsung di-iyakan oleh mama dan ayah.

Aku bangga memiliki adik sepertinya, aku menyayanginya. Kalau kalian melihatnya pun-saat usianya masih balita- kalian tidak akan mau jauh jauh darinya. Dia bulat, putih, rambutnya yang hitam kecoklatan yang hanya punya satu pusar rambut yang membuatnya seperti punya poni. Jalannya kecil, goyang goyang, dan mulutnya yang merah selalu berbicara dengan bahasa bayi(bla tum ma wa wa berrr)

Sekarang dia mulai beranjak remaja. Mulai mengerti cinta monyet, lokasi dompet mama dan menguasai remote tv. Tapi dia tetap shandi yang dulu. Yang manja,tidak banyak bicara, dan jarang membuatku marah. Dia benar benar berbeda denganku. Dia jauh lebih dewasa dariku. Dan dia bukan hanya adek bagiku. Dia seorang teman dengan usianya yang relatif sangat muda.Aku senang berada disampingnya sana seperti dia senang mengikuti kemanapun aku pergi. Waktu smp, kalo mama mengajak kami jalan jalan keluar, maka tangan yang digenggamnya adalah tanganku. Sampai aku SMA, dia semakin sering mengikuti kemanapun aku pergi. Beli buku di gramedia, nonton di 21, buka puasa bareng mbak ana, kewarnet, ke mini market, kerumah teman, karokean-tapi cuma kebagian ngantri- sampai ikut ikutan nongkrong bareng fhosya, shinta, indah, pita, dan ana ke pantai. Aku nyaman bersamanya seperti dia nyaman bersamaku.

Keputusanku kuliah diluar kota cukup membuatku menyesal. Yang paling aku sesalkan adalah saat membayangkan aku akan melewati perkembangan shandi. Aku akan melewatkan bagaimana dia menjadi seorang lelaki. Aku benar benar merasa rugi membayangkan aku harus siap siap bertemu dengannya 6 bulan sekali dan pada saat bertemu dengannya dia sudah berubah menjadi lebih dewasa dari dia yang sebelumnya.

Komentar

Postingan Populer