Untuk Yang Aku Panggil Perempuan Terhebat


Untuk Yang Aku Panggil Perempuan Hebat
(Tika Musfita,2011)

                                                           
06 April 2011

Tidak pernah satu haripun aku meninggalkan rumah, sekalipun, seharipun.
Sampai akhirnya kuputuskan merantau, keluar dari rumah, jauh dari pulau kelahiran.
Melupakan bagaimana kata pertama harus aku tinggalkan.
Dan hanya akan menyebutnya dari kejauhan.

Empat puluh tahun yang lalu perempuan hebat itu lahir menambah deretan anak perempuan dalam sebuah keluarga yang mengidamkan anak lelaki. Dia anak ke-empat dari empat saudara, dan semuanya perempuan. Dialah sekarang yang aku panggil “mama”. Seingatku, mama bilang kalau ketika kakak pertama sampai ketiga lahir, kakek yang sedang di kebun cengkeh atau sedang di kantor akan langsung berlari pulang kerumah untuk melihat bayi-bayinya. Tapi tidak untuk kali ke-empat, kakek yang sedang di kebun cengkeh melihat seorang tetangga berteriak dari kejauhan. Dalam teriakannya mengabarkan bahwa nenek sudah melahirkan. Kakek pun langsung berlari mendekati tetangga.
"Tino atau lanang?".
Tino..”
Mendengar jawaban itu, kakek langsung menuju kerumah, tapi tanpa berlari. Status anak perempuan bungsu dari 4 bersaudara-yang berjenis kelamin perempuan semua-menyebabkan mama seperti “putri” dalam keluarga. Anak pertama mencuci, anak kedua memasak, anak ke tiga menyapu, dan anak ke empat main kejar-kejaran di kuburan. Anak pertama pintar jahit, anak ke dua pintar masak, anak ketiga pintar mijit, anak keempat malah pintar mengobati kakinya yang lecet karena sering main ke sawah. Mama banyak bercerita tentang dirinya, tentang setiap luka di kakinya, ada yang karena jatuh dari motor sampai yang tersangkut pagar.
Bagiku masakan Mama sudah masakan yang paling enak se-dunia. Sampai suatu hari, ketika mengikuti kemah pramuka bersama teman sekolah dasar. Aku ditugasi memasak nasi. Hasilnya, nasi itu lezat, selezat nasi di rumah. Lahap aku memakannya, dan ketika hampir selesai, aku mendengar seorang teman berkata.
“Ini nasinya belum matang.”
Aku langsung berburuk sangka, jangan-jangan mama memang belum bisa masak nasi. Banyak yang bilang aku dan mama berbeda secara fisik. Dampaknya, aku tidak berhidung mancung, tidak sipit, tidak tinggi, tidak bergigi jarang, dan tidak beralis tebal. Kami berbeda secara fisik, tapi hanya fisik.
Aku ingat bagaimana mama mengajariku membaca setiap papan reklame di pusat perbelanjaan, membelikan banyak majalah bobo, majalah fantasi, kuas, cat air, dan buku gambar kesukaanku. Beliau juga mengajariku membaca puisi dengan penuh ekspresi, dan ikut menghapal catatan biologi,
Mama juga yang merobek setiap buku tulis bagian belakang yang penuh dengan hitungan tambahan, melepaskan lintah yang menempel di badanku seusai main banjir, beliau pula yang memberikan pensil yang sudah diruncingkan ujung-ujungnya. Katanya, gunakan secara bijaksana untuk menakut-nakuti anak lelaki yang usil.
Beranjak remaja, mama menambah perannya sebagai sahabat. Semua kisah tidak ada yang aku sembunyikan darinya. Ia layaknya sahabat yang tidak labil, teman yang tidak egois, nasihatnya akurat, dan ucapannya menguatkan. Mama banyak bercerita, tentang tika kecil yang loncat kesana-kesini dengan tas mickey mouse merah, tentang tika kecil yang memaksa sekolah sejak umur 3 tahun,  tentang tika kecil yang lebih senang pakai baju ayah daripada bajunya sendiri, tentang tika kecil yang pernah takut pulang karena bajunya basah main banjir, tentang tika kecil yang perlu waktu sebulan untuk menghafal nama adek barunya, tentang tika kecil yang selalu menghabiskan banyak cat cair untuk menggambar winnie the pooh, tentang tika yang sampai umur 6 tahun tidak bisa mengucapkan huruf "R" dengan benar, dan tentang tika yang langsung sembuh malaria ketika dibelikan permen fox 2 kaleng dan kalung berlian imitasi.
Sampai akhirnya, ceritanya tentang Malin Kundang telah berganti peran, dewasa ini, akulah yang bercerita banyak. Beliau mendengarkan ceritaku sampai aku tertidur dengan ceritaku sendiri. Dan ia akan tetap di sampingku sampai besok pagi.
Ya, dialah perempuan hebat-ku.Yang bersedia menyiapkan sarapan ketika semua keluarga masih larut dalam mimpi, kemudian mengajar sampai siang. Kepasar dan memilih sendiri menu makan siang dan malam. Belum sempat istirahat, beliau akan langsung kedapur, selesai memasak dan shalat ashar beliau akan direpotkan dengan adek-adekku. Malamnya, sibuk menyiapkan makan malam, membersihkan meja, mengoreksi tugas sekolah, dan akan tidur paling akhir menunggui Ayah yang pulang larut dari pengajian. Mama, yang di awal tahun 2000 sudah benar-benar bisa memasak dengan baik dan lezat.
Mama yang mencintai karirnya sebagai ibu rumah tangga dan menyakini bahwa guru adalah pekerjaan sampinganya. Beliau menolak menjadi kepala sekolah. Baginya, karir tidak hanya terletak dari jabatan atau posisi. Kebahagian mama adalah ketika pulang kerumah, melepaskan semua yang di sekolah dan beralih ke rumah, hanya memikirkan keluarga, memikirkan rumah. Untuk pendidikan, Ia berjanji hanya akan melanjutkan S2 jika mendapatkan beasiswa. Sampai akhirnya kesempatan beasiswa S2 itu datang tepat di hari ke tiga saudara bungsuku, Mufti Ari Shandy di ICU karena kecelakaan. Dengan tegas beliau  menolak tawaran itu, merelakan S2 gratisnya, dan lebih memilih mengurusi Shandy yang masih dalam perawatan. Baginya, kesempatan mengurus anaklah yang tidak datang dua kali.
Musibah kecelakaan Shandy membuatku sadar bahwa mama memang sangat  kuat. Setelah tiga hari menyembunyikan musibah itu, mama akhirnya menceritakannya melalui telepon. Saat itu aku benar benar rapuh, merengek minta pulang hari itu juga. Tapi mama mengajakku berfikir bijaksana.
“Uang odang tika pulang pergi itu hanya untuk biaya obat-obatan adek satu hari, mama minta odang ngalah, tetap rajin kuliah dan banyak do’a”.
Aku tahu mama tentu butuh kekuatan, sekalipun dia tidak pernah mengeluh, dan tidak pernah menyerah. Kenyataan bahwa adek lelakiku divonis hilang ingatan akibat ada pecahan tengkorak yang mengganggu otak kecilnya. Sembilan dokterpun tidak berani ambil resiko untuk melangsungkan operasi untuk Shandy. Aku tahu mama butuh orang yang meyakinkannya bahwa Shandy akan pulih secepatnya dengan obat-obatan dan terapi. Menyakinkannya bahwa anak bungsunya itu akan tetap hidup, tidak masalah apakah akan kembali mengingatnya sebagai mama, mengingat semuanya atau tetap hilang ingatan.
Hari berikutnya, Mama menelepon untuk menuntaskan kekhawatiranku. Beliau selalu setia memberikan laporan perkembangan Shandy, bagaimana Shandy sering marah-marah, yang orientasinya sedikit sedikit mau mati. Terkadang membicarakan hal hal yang mengerikan. Shandy meludah setiap tamu yang datang. Dia tidak sadar, tidak sadar saat meneriaki mama, memanggil mama dengan nama orang lain, menendang orang yang ada di sampingnya. Semua kena imbas,  a akan mengutuki orang-orang yang dia ingat. Pernah suatu ketika, dia minta dicongkel matanya, dipatahkan tangannya, minta mulutnya dijahit, atau terkadang tertawa-tawa sendiri.
Otaknya merekam apa yang dibicarakan orang-orang di sekitarnya, dan keesokan harinya mengulang semua pembicaraan yang kemaren ia dengar. Kemauannya pun harus dituruti, kalau tidak dia akan kembali mengamuk.
Ketika sepupuku datang menjenguknya di rumah sakit, Shandy tiba-tiba langsung meminta donat keju kesukaannya. Mama langsung keluar dari ruang icu dan pergi membeli donat keju agar Shandi tidak kecewa dan kembali mengamuk. Pernah juga ia tiba-tiba marah ketika makan donat, meneriaki mama ingin meracuninya dengan donat itu.
Sampai akhirnya vonis dokter memang tidak selamanya menjadi takdir tuhan. Kesehatan Shandy membaik dan akhirnya bisa mengingat kembali setiap potongan kehidupan. Shandy kembali ke rumah, sekolah, dan kembali memanggil perempuan tabah itu dengan panggilan “Mama”. Mama hanya mengucapkan satu kalimat saat itu. “Terkadang, kita membiarkan semuanya berlalu tanpa rasa syukur, ikhlas dan husnudzon dengan-Nya.”
Beliau mengajarkanku banyak hal. Bagaimana menampatkan posisi pada lawan dan kawan. Bagaimana tegas memilih setiap berada di persimpangan. Bagaimana menulis setiap mimpi yang lebih banyak dicemooh orang. Bagaimana bersabar dalam setiap kejutan kehidupan. Ia juga yang melatihku untuk sabar dalam perantauan. Memanjakanku dengan cara yang selalu berbeda. Membuatku tertantang untuk mengubah apa yang setia dikatakan bisikan-bisikan lemah. Ia pula yang mengajakku untuk hanya bersandar kepada Allah, dalam setiap urusan, harapan, dan setiap ketentuan.
Untuk yang aku sebut Perempuan Terhebat, terima kasih atas mujair pedas dan sop yang selalu ada setiap hari. Terima kasih juga atas tangan berbau bumbu dapur yang mengelus kepala di saat letih, yang menggenggam tangan ketika suara petir, yang menarik selimut ketika malam berbalut hujan, dan yang memberikan pelukan ketika manja ini memuncak. Lantas, apa yang membuatku melupakan setiap kesempatan Allah untuk bersyukur atas penitipan indah ini. Betapa Allah telah menitipkanku kepada perempuan hebat sepertimu.
Untuk yang aku sebut Perempuan Terhebat, maaf jika untuk sementara waktu tidak bisa menemanimu menentukan menu makan pagi, siang dan malam, belum bisa mengantarkan belanja keperluan dapur, aksesoris, macam pakaian sampai mencoba banyak hal di salon. Lantas, apa yang membuatku kadang lupa mendo’akanmu? Sementara engkau selalu menempatkan kalimat do’amu untukku pada awal do’amu.
Untuk yang aku sebut Perempuan Terhebat. Biarlah aku simpan dan hanya akan kusampaikan pada mama dan Allah, tentang cinta, cita-cita dan semua rahasia. Bukankah engkau pula yang mengajariku berkeluh kesah pada Allah ketika ada dan tidak ada ragamu di sampingku?
Untuk yang aku sebut Perempuan Terhebat, pesan untuk tidak mengeluh kepada orang lain, menjaga kesehatan, banyak minum air putih, dan tidak pelit uang untuk makan, buah, serta susu masih berlaku sampai sekarang. Terima kasih telah mengajari tika bagaimana caranya memasak serta tidak murka ketika tahu harmonika dan biola jarang tersentuh selama di Jogja. Ya, terima kasih juga telah megajakku bersabar dan percaya bagaimana do’a bisa didengar dan dijawab oleh Allah.
Untuk yang aku sebut Perempuan Terhebat, Ini aku, Tika, yang mendeklamasikan dengan bangga, kalau aku akan menjadi seperti mama. Bagaimana menjadi perempuan yang bangga dengan status keibuannya. Menjadi wali-wali Allah untuk memberikan kepercayaan akan keindahan Allah melalui dirimu. Yang menebarkan keteduhan, kesabaran, kasih sayang, dan tidak kenal artinya kalah.

Kadang aku lupa manusia mana yang hampir mati untuk kehidupanku.
catatan ini hanya setitik dari apa yang aku ingat tentang dirimu.
Untuk Yang Aku Sebut Perempuan Terhebatku,
Untuk kata pertama yang aku pelajari di dunia.
Yang aku panggil dengan sebutan MAMA.

Sang Pencipta, terima kasih telah menitipkanku pada perempuan hebat itu














Komentar

  1. tulisan bagus mba, saya ampe merinding bacanya. sempet terharu juga.keren keren

    BalasHapus
  2. Cerita di atas tidak hanya sekedar tulisan.Sangat berbeda sekali orang yang menulis sesuatu dengan menyertakan hati atau tidak. Kadang kita tidak sadar dengan Kenikmatan dan Kebesaran yang diberikan Allah SWT. Untuk mengingatnya sedikit pun tak sempat. Membiarkan semuanya berlalu tanpa rasa syukur dan ikhlas serta berhuznudzon dengan-Nya.
    Ukhti Tika, Inung benar-benar terharu dan menangis setelah membaca blog mu ini. Bukan hanya karena ini adalah kisah nyata namun juga begitu menelisik ruang hati yang paling dalam terhadap apa yang kau sebut dengan Perempuan Terhebat.
    Untuk kamu-kamu yang baru membaca, ini adalah sekeping kisah kehidupan yang sangat banyak pengaruhnya untuk kita. Syukron ukh udah ngasih tw inung blog mu ini. Saking terharunya inung ngga bisa berkata-kata lagi. Doaku selalu menyertaimu Perempuan2 Terhebat sedunia. Terkhusus untuk Ibu di rumah yang bakal inung buat juga kisah2nya.

    BalasHapus
  3. Wanita adalh mahluk yang di ciptakan Allah untuk menemani seorang Pria, tanpa wanita mungkin Nabi Adam AS hidup jadi bujang lapuk di surga. Salam kenal dari Jogja

    BalasHapus
  4. mau bilang bagus juga ah

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer